Kamis, 18 September 2014

Kontemplasi Diego Costa


Agen Betting Terpercaya - Hal pertama yang dilakukan Diego Costa pagi itu adalah memanaskan air untuk membuat kopi. Dengan jubah tidur yang masih melekat di tubuhnya, Costa mengambil surat kabar yang tergeletak di beranda. The Daily Mail. Ia langsung membuka halaman olahraga untuk melihat foto-foto aksinya semalam.


Sehari sesudah pertandingan selalu menjadi hari bebas latihan. Ini akan menjadi hari yang santai untuk Costa.

Beberapa detik kemudian, ia meletakkan kembali koran tersebut. Bukannya ia tak suka membaca, tapi ia tak mengerti Bahasa Inggris. Hanya 10 kata dalam Bahasa Inggris yang ia tahu dan "failure" bukan salah satunya. Tadi malam ia baru saja mencetak hat-trick ke gawang Swansea.

"Swansea? Klub apa itu?" batin Costa ketika ia diberitahu bahwa Chelsea akan menjamu tim dari Wales selatan tersebut di akhir pekan. Tapi Costa tak terlalu ambil pusing. Yang ia tahu saat bola berada di kakinya, besar kemungkinan si kulit bundar akan bersarang di gawang lawan beberapa detik kemudian.

Ketidakmampuannya berkomunikasi dalam Bahasa Inggris membuat dirinya gagal terpengaruh oleh terpaan media Inggris yang meragukan kemampuannya.

Mereka bilang dia akan sulit beradaptasi di Premier League. Mereka bilang dia cuma pemain one-hit wonder bersama Atletico Madrid.

Mereka bilang dia dihargai terlalu mahal.

Mereka bilang dia akan menjadi kandidat kuat masuk ke Fernando Torres' Hall of Shame di Stamford Bridge, sebuah perkumpulan elite yang beranggotakan Mateja Kezman, Adrian Mutu, Andriy Shevchenko, dan tentu saja, Torres.

Saat anda tak bisa berbahasa asing, maka apapun yang tertangkap daun telinga anda akan terdengar seperti kebisingan fonetik. Cukup diyakini bahwa sudah pernah ada suporter lawan yang berteriak kepada Costa "You're an overrated striker, you f*cking c*nt". Namun yang didengar oleh Costa hanyalah "yorrrattaskggggnt".

Sambil menenggak kopi, Costa membuka email dari ofisial Chelsea yang mengirimkan laporan performanya sejauh ini di Premier League. Empat pertandingan, 14 tembakan, 10 tembakan ke gawang, 7 gol. Pemain lain akan tertawa bangga jika ditempatkan dalam posisi di mana mereka sukses membalikkan prediksi bahwa mereka akan gagal, tapi Costa membawa laporan statistik tersebut dengan wajah datar. Tidak ada yang aneh baginya. Semua sudah sesuai rencana.



"Selamat, Diego, kamu menjadi pemain Chelsea pertama yang selalu mencetak gol di 4 pertandingan pembuka di era Premier League", begitu bunyi SMS yang diterimanya. Ia merasa terganggu dengan SMS tersebut, bukan hanya karena nomor pengirimnya tak dikenal, tapi juga karena menurut standar pribadinya, mencetak gol di 4 pertandingan berturut-turut bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan.


Tapi ia tak mau terlalu banyak komplain. Hidup di London terasa menyenangkan bagi Diego Costa. Jauh lebih menyenangkan dibanding musim panas yang lalu di mana ia menjalani periode penuh derita bersama timnas Spanyol.

Pikiran Costa melayang ke beberapa bulan yang lalu ketika ia menaiki pesawat yang akan bertolak menuju Rio de Janeiro. Diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan Spanyol akan seorang predator di lini depan, Costa gagal mencetak gol di Piala Dunia dan dengan cepat dijadikan kambing hitam dalam tragedi hancur leburnya La Furia Roja di Brasil.


Costa adalah seorang pria tinggi besar dan kekar dengan perawakan yang akan mengintimidasi para bek manapun. Tapi di timnas Spanyol ia dianggap sebagai serigala pemalas yang mengacaukan kerja keras para kurcaci lini tengah. Ia adalah itik buruk rupa di tengah kumpulan angsa pesolek. Saat sebuah sistem yang sukses dan sudah berjalan sedemikian lama mengalami perubahan, maka faktor yang menyebabkan perubahan tersebut akan disalahkan ketika menemui kegagalan.

Pada titik itu, Kementerian Dalam Negeri Spanyol sedang memikirkan untuk membuat rapat darurat untuk memutuskan apakah memberikan kewarganegaraan Spanyol kepada Costa adalah sebuah kesalahan.

Lamunan Costa pun buyar ketika tidak sengaja ia menduduki remote control dan menyalakan TV. Secara kebetulan yang sedang ditayangkan adalah cuplikan pertandingan Derby Madrileno antara Real Madrid dan Atletico Madrid. Arda Turan mencetak gol kemenangan bagi Atletico tapi Costa menyaksikan tayangan tersebut dengan getir. Dua kali Atletico berhadapan dengan Real Madrid dalam partai final dan dua kali pula Costa gagal bermain. Pada final Copa Del Rey 2013, Costa tidak turut ambil bagian dalam kemenangan Atletico. Pada final Liga Champions di Lisbon 4 bulan lalu, Costa yang cedera dipaksakan turun tapi hanya sanggup bertahan 7 menit sebelum ditarik keluar.

Ketegangan di otot wajah Costa mereda setelah ia melihat wajah Koke.

"Oh, Koke, mi amigo," bisik Costa secara tak sadar.


Koke adalah distributor bola utama di Atletico dan kreator dari banyak sekali gol Costa saat berbaju Rojiblancos. Sebagai seorang penyerang bertipe finisher, Costa memang bukan striker yang mampu bekerja seorang diri. Ia membutuhkan seorang pelayan yang akan menyodorkan bola-bola matang sebelum ia melesakkannya ke dalam gawang. Koke adalah orang tersebut. Costa adalah Bruce Wayne dan Koke adalah Alfred.

Tadinya Costa ragu bahwa di Chelsea ia akan mendapat partner yang serupa. Eden Hazard? Jelas tidak, orang Belgia itu terlalu angkuh untuk jadi suplier semata. Para gelandang The Blues lain lebih berkarakter petarung dibanding pelayan. Costa tak butuh tukang pukul karena ia bisa melindungi dirinya sendiri. Ia butuh sekondan. Satu-satunya yang mendekati adalah Oscar.

Tapi kegundahan tersebut lenyap sudah setelah Cesc Fabregas datang ke Stamford Bridge dan mengambil alih posisi tersebut. Costa tak terlalu mengenal Fabregas dengan baik. Ya mereka memang satu tim di Piala Dunia kemarin, tapi Costa selalu berpikir bahwa kontingen Catalan di timnas Spanyol selalu merasa sebagai aristokrat sepak bola yang tak boleh disentuh sembarangan. Para pemain Barcelona adalah bangsawan, sedangkan ia adalah perwujudan sesungguhnya dari Atletico Madrid yang keras dan kerap dianggap sebelah mata.

Separuh dari gol Costa bersama Chelsea berawal dari umpan Fabregas. Umpan terobosan terukur yang dengan akurat jatuh dalam jangkauan kakinya. Ia sedikit kesal jika mendengar bahwa gol-gol yang ia ciptakan tergolong biasa saja dan tidak spektakuler. Tidak ada dribble bola yang cepat atau step-over yang indah, tapi memangnya memposisikan diri di tempat yang tepat dalam waktu yang tepat bukan skill tersendiri?

"Dasar amatir," lagi-lagi tak sengaja Costa mengucap.

Ia teringat lagi masa kecilnya saat mengenal sepak bola dulu di Lagarte, kota kelahirannya di timur Brasil. Ia baru mulai bermain sepakbola dengan benar pada usia 16 tahun. Sebelumnya ia bermain street football yang penuh trik dan atraksi. Menyenangkan dan memanjakan mata melihat gerakan kaki yang cepat dalam mengolah dan memainkan bola, tapi sebagai pesepakbola profesional, yang layak diperhitungkan hanyalah apakah bola masuk ke gawang lawan atau tidak.

Hari semakin siang dan Costa teringat ia ada janji pertemuan. Ia masuk ke kamar mandi untuk menggosok gigi tapi tepat sebelum ia mengambil pasta gigi, ia menatap refleksi dirinya di cermin. Ia sadar betapa bengisnya wajah yang ia miliki. Hazard mengatakan kepada wartawan kalau ia tidak percaya Costa berusia 25 tahun. Seorang teman yang lain menukas kalau wajah sangarnya mirip debt collector.

Costa tersenyum, kali ini tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia sadar bahwa ia memang punya piutang dengan para kiper di Premier League dan satu-satunya alat transaksi sah yang ia inginkan hanyalah gol.

0 komentar :

Posting Komentar